![]() |
Foto: Gonsa Thundang Lokasi: Persawahan di Ruteng |
“Duat gula, we're mane” begitu istilah yang sering ceritakan orang
tua kami, khususnya di Manggarai. Dalam kepala dengan pemikiran yang luas ini,
saya coba mengartikan maksud dari setiap jengkal dan batas dari setiap kata
yang sering disampaikan itu. Bisa diartikan, bahwa hidup dimulai dari hal yang
sangat awam yang disimbolkan dengan cahaya sebagai harapan baru dalam hidup,
yang kemudian proses kehidupan dimulai dari lahan kosong. Kemudian lahan
tersebut mulai dikerjakan oleh kita. Hal ini melambangkan proses hidup yang akan
segera dimulai.
Proses berlanjut pada
pola-pola yang harus dikerjakan dari proses awal. Sebelum saya lupa, di Manggarai
bisanya proses awal membuka lahan baru dimulai dari proses “rimu puar”
membuka lahan baru dengan membabat hutan dengan keperluan secukupnya. Kemudian,
proses itu berlanjut menggembur tanah, dengan harapan menumbuhkan harapan-harapan
yang bersumber dari ibu bumi yang tertidur yang kemudian dibangukan dengan
tidak membentaknya dengan kasar melainkan dengan mengetuk pintu tanah bumi dan
berkata, “ tabe (permisi) kami datang untuk tinggal”.
Setiap membuka dan
menggembur tanah selesai dilakukan, akan dilanjutkan dengan menanam benih pada
rahim bumi. Ini menjadi salah satu harapan yang bisa kita lakukan, berdoa dan
usaha juga turut mendukung pekerjaan yang sangat-sangatlah mulia itu. Pantas saja,
Soekarno memberi gelar itu kepada mereka. PETANI, Penyangga Tatanan Negara Indonesia pada tahun
1952. Sama seperti ibu yang menjadi penyangga kehidupan dalam proses
pertumbuhan kita, ia ibu bumi kita.
Pada proses
selanjutnya adalah, menyemai bibit yang telah tumbuh, memindahkan ke tempat
yang telah siap ditanami. Kemudian menjaga apa telah ditanam. Bukan hanya
menjaga, merawat, memberi harapan, doa dan juga nutrisi pengetahuan yang setiap
harinya terus berkembang dengan membabi batam hahaha….. Sedikit intermezo,
intinya semakin sulit dijangkau oleh kebanyakan orang menyandang gelar PETANI
itu.
Maukah kau menjadi
petani kata? Kata salah seorang dosen senior, di sela-sela pembicaraan kami
tentang kata yang siap disemai menjadi tumbuhan liar di dalam isi kepala kami.