Setelah sekian ribu menit dalam keheningan yang mendalam, hujan yang akhir-akhir ini datang begitu pagi menambah dingin yang perlahan merayap ke dalam ingatan. Kenangan-kenangan yang muncul kembali dalam benak membuat waktu terasa begitu lambat. Banyak hal berusaha dinormalkan sejak peristiwa kepergian itu. Pintu rumah menjadi tempat terakhir aku melihat tubuh dan bayangmu pergi, ditemani tangisan bisu dari perasaan yang tak pernah berhenti datang
Hari ini, perasaan itu kembali singgah seakan tak pernah merasa malu untuk bertamu. Aku duduk tepat di sebelah kursi yang dulu sering kamu pakai saat berdoa, memohon pada Sang Pencipta yang jauh entah di mana. Orang-orang bilang kamu jarang ke gereja, tetapi aku tahu setiap doa yang kau lantunkan penuh makna. Sambil mengaduk air mata dalam cawan doa yang hampir penuh, di ubun-ubun kepala ini aku merasa setiap mantra yang kau gumamkan semakin banyak dan semakin dalam. Ada yang tertanam di sana, dari buku-buku doa yang kau beli di toko rohani.
“Tuhan, begitu jauh jalan yang harus ditempuh. Begitu banyak rasa yang harus dirindukan sebagai pelengkap doa dan mantra yang kian kulafalkan setiap hari. Agar raga dan jiwa itu pulang ke rumah ini dan disambut dengan baik di depan pintu rumah,” gumammu dalam rapalan doa yang kian sulit dimengerti siapa pun yang mungkin mendengarnya.
Ritual itu makin bertambah panjang setiap harinya, entah apa lagi yang akan kau tambahkan dalam doa-doamu. Kursi yang kau duduki semakin penyok oleh beban doa dan harapan yang kau sampaikan setiap hari kepada Sang Pemilik Kehidupan. Kadang-kadang, kau bakar doa-doa itu dalam bentuk lirik. Bahkan, jika harus memilih antara membeli lilin atau kebutuhan lain yang lebih mendesak, kau memilih lilin untuk doa-doamu. Jika tak punya uang, kau berutang di kios seberang jalan. Pemilik kios mengenalmu dengan baik; dia tahu kebutuhanmu tanpa perlu bertanya lagi. Hal ini terus berlangsung meski usiamu tak lagi bisa dikatakan remaja.
Nuu, sapaan kecil yang akrab dan penuh sayang, selalu kuucapkan untukmu, orang yang kerap kali hadir dalam kerinduan dan doa-doamu. Sejak kau hadir, dia selalu bernyanyi dalam doanya, seakan kehadiranmu adalah kebahagiaan yang tak tergantikan. Bukan hanya nyanyiannya yang sering membuatmu terlelap, tetapi juga nyanyian itu menjadi penenang saat gelisah mengusik jiwamu.
Kau hadir saat keadaan rumah dalam damai. Kau disambut hangat oleh seisi rumah yang merindukan kehadiran seorang anak laki-laki, meski kenyataannya kau adalah seorang perempuan. Anak laki-laki mungkin lebih dinanti karena adat di daerah ini menganut sistem patriarki. Namun, tidak dengan ibumu yang tetap bersuka cita dan bahagia sepanjang hidupnya.
Dia selalu memberi kejutan-kejutan kecil setiap hari, sebuah bakat yang kini kau warisi. Rumah pun sering tersenyum saat kau memberikan kejutan-kejutan kecilmu. Aku ingat benar kejutan yang kau beri padaku, sepiring sarapan yang berbeda dari biasanya. Cinta, mungkin itu yang jarang diberikan orang lain kepadamu sejak usia remaja yang mulai merindukannya.
“Mama, kenapa masakan yang kau buat hari ini terasa aneh?” tanyamu polos ketika melihat ubi talas yang dibawanya dari pekarangan pagi itu.
“Nuu, ini namanya talas, makanan favorit Mama sejak kecil,” jawabnya sambil mengupas keladi dengan telaten.
“Bukankah itu membuat gatal?” tanyamu, mengingat kejadian saat dulu kau memakannya mentah-mentah di pekarangan rumah.
“Itu karena kau memakannya sebelum diolah, Nuu,” jawab Mama sambil meniup api di tungku dapur. Sesekali, sambil memasak, dia masih bernyanyi untuk menghiburmu yang sudah lapar.
Setelah menunggu cukup lama, ditambah dengan hujan deras yang mengguyur siang itu, aku pun tertidur di bale-bale dekat tungku dapur. Bukan hanya karena hujan, tetapi juga karena nyanyianmu yang menenangkan hingga membuatku terlelap.
“Nuu, bangunlah. Masakannya sudah matang. Ayo makan bersama,” kata Mama sambil mengusap lembut pundakku untuk membangunkanku perlahan.
Kami pun makan ubi talas yang sudah masak. Rasa yang selama ini kukira akan gatal justru terasa begitu enak dan lembut.
“Mama, ini benar talas yang kau masak tadi?” tanyaku sambil menyantap talas ketigaku dengan lahap.
“Iya, Nuu,” jawab Mama singkat sambil tersenyum bahagia melihatku menikmati hasil jerih payahnya.
Tiba-tiba, aku terbangun dan berusaha memanggil namanya, “Mama?” Dengan perasaan cemas dan takut, aku berharap itu bukanlah akhir dari kebersamaan kami. Ternyata, mimpi itu datang lagi, membasahi baju dan pergelangan tanganku yang sejak tadi menjadi penopang di samping bangku tempatku tertidur di ruang tamu.