Resensi Film Mary (2024): Kajian Semiotika Roland Barthes

Resensi Film Mary (2024): Kajian Semiotika Roland Barthes
Sumber gambar: https://www.netflix.com/id/


Identitas Film

- Judul: Mary  

- Tahun Rilis: 2024  

- Sutradara: D.J. Caruso  

- Pemain Utama: Noa Cohen (Maria), Ido Tako (Yusuf), Anthony Hopkins (Raja Herodes)  

- Sumber Inspirasi: Protoevangelium of James  

- Platform Rilis: Netflix


Resensi Film Mary (2024): Kajian Semiotika Roland Barthes
Sumber Gambar: https://en.wikipedia.org/

Film Mary (2024), disutradarai oleh D.J. Caruso, merupakan sebuah eksplorasi biografis yang mengangkat kisah Maria, ibu Yesus, dengan pendekatan yang berfokus pada teks nonkanonik Protoevangelium of James. Film ini tidak hanya mencoba untuk menggambarkan Maria dalam peran religiusnya yang sudah lama dikenal, tetapi juga menyelami dimensi manusiawi dari tokoh tersebut. Dalam kajian semiotika Roland Barthes, kita dapat menganalisis film ini melalui tiga konsep penting: denotasi, konotasi, dan mitos. Ketiga konsep ini membantu kita untuk lebih memahami bagaimana makna dibangun dan dikonstruksi melalui tanda-tanda yang ada di dalam film.

Visual dan Narasi: Denotasi, Konotasi, dan Mitos

Denotasi dalam Visual dan Narasi

Pada level denotatif, film Mary menampilkan lanskap yang otentik dan atmosfer sakral dengan menggunakan sinematografi yang mengedepankan pencahayaan hangat dan warna alami. Adegan-adegan penting, seperti pengumuman Malaikat Gabriel kepada Maria dan kelahiran Yesus, diwarnai dengan pencahayaan lembut yang menciptakan kesan kesucian dan keagungan.

  • Denotasi: Secara literal, pencahayaan ini menunjukkan suasana religius yang dapat dikenali oleh penonton sebagai simbol dari keterhubungan antara dunia manusia dan dunia ilahi. Warna-warna hangat, seperti emas dan kuning lembut, mengindikasikan kesakralan dan memberikan visualisasi yang jelas tentang kehidupan spiritual yang dijalani Maria. Pencahayaan lembut pada wajah Maria, misalnya, secara jelas menunjukkan bahwa ini adalah momen yang penuh dengan pengungkapan ilahi dan penuh makna

Konotasi dalam Visual dan Narasi

Namun, di tingkat konotatif, penggunaan visual ini lebih dari sekadar menyampaikan makna harfiah. Warna-warna hangat dan pencahayaan alami ini tidak hanya berfungsi untuk menandakan kesucian, tetapi juga menggambarkan dimensi emosional dan internal dari karakter Maria. Film ini menyampaikan ketegangan yang ada dalam diri Maria, antara iman yang dia terima dan ketidakpastian yang dia rasakan terhadap peran besar yang akan dia jalani sebagai ibu dari Mesias.

  • Konotasi: Dalam konteks ini, cahaya dan warna bukan hanya mewakili kesucian tetapi juga konflik batin yang harus dihadapi Maria. Cahaya lembut yang mengelilingi Maria mungkin menyiratkan bahwa meskipun perannya sangat spiritual, dia tetap manusiawi, penuh keraguan dan rasa takut. Hal ini menggambarkan dualitas antara takdir ilahi dan kenyataan duniawi yang harus diterima oleh Maria sebagai individu (Eco, 1976).

Mitos dalam Visual dan Narasi

Penggunaan mitos dalam film ini sangat penting dalam mendekonstruksi gambaran klasik tentang Maria. Dalam mitos tradisional keagamaan, Maria sering digambarkan sebagai sosok yang hampir tanpa cela, tak pernah ragu, dan selalu menerima takdirnya tanpa pertanyaan. Film ini berusaha meruntuhkan mitos tersebut dan memberikan ruang bagi Maria untuk menjadi lebih manusiawi.

  • Mitos: Dalam tradisi agama yang dominan, Maria selalu dilihat sebagai lambang kesucian yang sempurna dan tanpa cela. Mitos ini membentuk pandangan kita tentang peran perempuan dalam agama—sebagai sosok yang pasif, tidak berdaya, dan sepenuhnya tunduk pada takdir. Film ini menggeser mitos tersebut dengan menggambarkan Maria sebagai seorang perempuan yang berani menghadapi ketidakpastian, sebuah pendekatan yang lebih berbicara kepada audiens modern yang mencari representasi perempuan yang kuat, bukan hanya sebagai figur religius pasif (Barthes, 1981).

Dialog dan Sistem Tanda: Denotasi dan Konotasi dalam Bahasa

Denotasi dalam Dialog

Dialog dalam film ini berfungsi sebagai alat komunikasi langsung antar karakter, menyampaikan informasi dan dinamika relasional antara Maria dan Yusuf. Pada level denotatif, dialog berfungsi untuk menggambarkan situasi mereka, terutama ketika Maria diberitahu oleh Malaikat Gabriel bahwa dia akan mengandung Mesias. Dialog Maria dan Yusuf menggambarkan kebingungan dan ketidakpastian yang mereka rasakan, terutama Yusuf yang merasa terguncang oleh kenyataan bahwa tunangannya hamil tanpa penjelasan yang jelas.

  • Denotasi: Di level ini, dialog berfungsi sebagai sarana untuk mengungkapkan konflik antara rasionalitas duniawi (Yusuf yang bingung) dan penerimaan spiritual (Maria yang harus menerima takdirnya). Dialog tersebut memberi gambaran jelas tentang situasi mereka—Maria harus menghadapi fakta bahwa hidupnya akan berubah selamanya, sementara Yusuf bergumul dengan perasaan takut dan kebingungannya

Konotasi dalam Dialog

Namun, dialog ini memiliki konotasi yang lebih dalam, yang mencerminkan konflik batin dan ketegangan dalam hubungan mereka. Ketegangan dalam cara berbicara dan cara karakter saling berinteraksi mencerminkan ketidaksempurnaan hubungan mereka. Film ini menggunakan dialog yang terasa kaku untuk menandakan jarak emosional yang ada antara mereka, seolah-olah meskipun mereka berada dalam situasi luar biasa, mereka tetap berjuang dengan ketidakpastian internal mereka.

  • Konotasi: Ketegangan dalam dialog ini menandakan bahwa meskipun mereka dipilih oleh Tuhan untuk menjalankan tugas ilahi, hubungan mereka tidak bebas dari keraguan dan kesulitan. Hal ini menggambarkan kedalaman hubungan mereka yang lebih manusiawi dan penuh perjuangan. Dialog yang tidak sepenuhnya alami menandakan ketidaksempurnaan yang lebih besar dalam peran yang mereka mainkan dalam kisah suci (Mulvey, 1975).

Mitos dalam Dialog

Dialog dalam film ini juga berperan dalam menggugat mitos tradisional tentang hubungan antara Maria dan Yusuf. Dalam cerita kanonik, hubungan mereka sering digambarkan dalam cahaya yang ideal, penuh dengan pemahaman ilahi dan ketenangan. Film ini menggambarkan hubungan mereka dengan lebih kompleks dan penuh ketegangan, mencerminkan kenyataan bahwa bahkan dalam narasi religius yang tinggi, ada ruang untuk keraguan dan perjuangan manusiawi.

  • Mitos: Sebagaimana mitos Maria yang digambarkan sebagai sosok pasif, hubungan dengan Yusuf juga sering kali dianggap sebagai hubungan yang penuh dengan pengertian dan kepasrahan. Film ini membongkar mitos ini dengan memperlihatkan ketidakpastian dan perjuangan dalam penerimaan Maria dan Yusuf terhadap takdir mereka. Ini mengajak penonton untuk melihat hubungan ini lebih manusiawi, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan religius yang lebih tinggi (Barthes, 1972).

Gender dan Kesetaraan: Mitos dan Konotasi Baru

Film ini mengangkat isu gender dengan menampilkan Maria sebagai tokoh utama yang tidak hanya menerima takdirnya, tetapi juga aktif dalam menghadapinya. Ini membuka ruang untuk analisis tentang representasi perempuan dalam narasi religius, yang sering kali diabaikan atau disederhanakan dalam mitos-mitos keagamaan.

  • Mitos Gender: Dalam banyak narasi religius, perempuan sering digambarkan dalam peran pasif dan sekunder. Dalam film ini, Maria berfungsi sebagai subjek aktif dalam kisah hidupnya, menggantikan mitos tradisional tentang perempuan religius yang selalu pasif dan tidak memiliki pilihan. Dengan cara ini, film ini memberikan kritik terhadap konstruksi sosial dan budaya yang mendefinisikan perempuan dalam batas-batas yang sempit, serta memperkenalkan representasi yang lebih memberdayakan (Hall, 1997).
  • Konotasi Baru: Film ini menawarkan konotasi baru tentang gender dan keagamaan dengan menggambarkan Maria sebagai perempuan yang bukan hanya ibu dari Mesias, tetapi juga seorang individu yang menghadapi dilema dan perasaan manusiawi. Ini menandakan perubahan dalam cara kita melihat perempuan dalam konteks keagamaan dan menawarkan gambaran yang lebih inklusif dan memberdayakan bagi penonton modern (Fiske, 1987).

Kesimpulan

Film Mary (2024) menggali makna yang lebih dalam melalui penggunaan tanda-tanda visual, dialog, dan narasi yang mencerminkan konsep-konsep semiotik Roland Barthes, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos. Film ini tidak hanya mengangkat kisah klasik tentang Maria, tetapi juga menantang mitos-mitos tradisional tentang perempuan dan hubungan dalam narasi religius. Melalui pendekatan ini, film ini mengajak penonton untuk meresapi kembali peran perempuan dalam sejarah keagamaan, sambil membuka ruang bagi refleksi kritis tentang ketidakpastian, keraguan, dan keberanian dalam menghadapi takdir.

Rekomendasi: Film ini sangat cocok untuk audiens yang tertarik pada kajian teologi, studi gender, dan analisis budaya. Pendekatan kritis terhadap elemen nonkanonik dalam film ini memberi ruang bagi diskusi mendalam tentang bagaimana tradisi agama dapat diterjemahkan dalam konteks modern.