Di Balik Kesibukan Wisuda: Sebuah Momen Hening Tentang Kehangatan Keluarga

 

Di Balik Kesibukan Wisuda: Sebuah Momen Hening Tentang Kehangatan Keluarga

Kemarin, saat sedang sibuk mengurus kebutuhan wisuda di kampus, saya dan beberapa teman duduk sambil menunggu giliran pemanggilan nama dari bagian warek, guna mengurus surat bebas administrasi keuangan dari kampus. Kami duduk persis di bagian depan kampus, tepat di bawah rindangnya pohon cemara.


Kami banyak mengobrol soal persiapan dan tetek bengek kebutuhan wisuda yang mungkin menjadi momentum terakhir di kampus, serta merayakan kelulusan entah dengan konsep apa. Yang pasti, satu teman lainnya tidak mau kalah pamer persiapannya.


Di tengah keributan kendaraan yang bersahutan dengan ocehan teman-teman, saya sempat memperhatikan lalu lalang dan aktivitas orang-orang di kampus. Ada yang duduk sambil bercerita, ada yang sedang menunggu, ada yang melamun, atau sedang menelepon seseorang entah siapa.

Sesaat, saya terdiam menyaksikan pemandangan langka yang mungkin bisa dirasakan dan dilihat oleh beberapa orang. Seorang bapak, dituntun oleh sang anak menuruni tangga. Yang lebih membuat mata saya berkaca-kaca adalah, bapak tersebut ternyata buta.


Saya tertegun beberapa saat memikirkan momen indah ini, sambil membayangkan kedekatan dan hubungan yang begitu erat antara anak dan bapak tersebut. Saya segera mengambil kamera Canon andalan, mengatur jarak, fokus, dan napas untuk mengabadikan momen yang begitu berharga dan sarat akan cerita ini.


Kemudian, saya membayangkan, bagaimana jika sang ayah tidak dituntun oleh sang anak, atau jika sang anak tidak memiliki sosok ayah yang begitu percaya padanya? Begitu banyak pikiran yang tiba-tiba muncul saat melihat momen itu. Bahkan setelah mengabadikan momen tersebut, dan melihat hasil jepretan yang singkat itu, seakan-akan semua keegoisan anak yang tidak peduli, atau yang terkadang merasa orang tua bersikap keras atau salah dalam mendidik, runtuh. Semua pikiran itu meletup, meluap keluar dari kepala.


Di Balik Kesibukan Wisuda: Sebuah Momen Hening Tentang Kehangatan Keluarga


Sapaan Hangat

Setelah siang mulai bergeser ke arah barat, saya dan teman-teman akhirnya memutuskan untuk pindah ke teras gedung utama Unika St. Paulus Ruteng, mengingat cuaca yang mulai mendung dan untuk mengantisipasi pemanggilan antrian. Sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, saya berjalan menuju teras dan terus ke lobi utama. Saya duduk di lantai, bersandar pada dinding, dengan mata dan telinga yang gelisah menoleh ke segala arah.
Siang itu, suasana di dalam dan sekitar ruangan cukup ramai karena banyak mahasiswa yang baru keluar dari ruang kuliah. Ada yang baru tiba, ada pula yang hendak pulang karena waktu sudah siang dan "kampung tengah sudah mulai rusuh", istilah yang biasa dipakai untuk menggambarkan rasa lapar yang sangat. Terlebih lagi, para mahasiswa dan mahasiswi sedang disibukkan dengan ujian tengah semester.

Sesaat kemudian, saya melihat sosok yang tidak asing, yaitu Ketua Program Studi kami, Romo Bone Rampung, Pr. Beliau adalah sosok sederhana dan menjadi panutan bagi mahasiswa bahkan dosen di prodi PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia). Salah satu hal yang dikenal oleh semua mahasiswa PBSI dari beliau adalah pantunnya. Beliau konsisten membagikan pantun-pantun yang disematkan pada foto-foto yang diambilnya sendiri. Romo adalah salah satu panutan saya dalam berkarya. “Lakukan, jangan dengarkan kata orang, dan konsisten dalam berkarya,” itulah pelajaran yang saya petik dari beliau.


Di Balik Kesibukan Wisuda: Sebuah Momen Hening Tentang Kehangatan Keluarga


Saya mengabadikan beliau dari dalam ruangan yang dipisahkan oleh kaca tebal, saat beliau sedang bercakap-cakap dengan mahasiswa dengan keakraban dan keramahan yang khas, sambil membawa payung dan kamera kesayangannya di teras gedung.

Di Balik Kesibukan Wisuda: Sebuah Momen Hening Tentang Kehangatan Keluarga


Tak lama setelah Romo pergi, terlihat juga sosok dosen yang sangat akrab dan humoris, Pak Efrem. Begitulah sapaan yang biasa kami gunakan untuk beliau. Pak Efrem dikenal sebagai dosen yang sederhana dan to the point, dan tegas saat mengajar. Beliau keluar dari gedung dan bercakap-cakap dengan beberapa mahasiswa yang mungkin baru tiba di kampus.

Dengan gaya humoris yang khas, Pak Efrem menyapa mereka dengan keakraban yang terlihat begitu natural. Obrolan itu cukup lama, memberi saya kesempatan untuk mengabadikan momen percakapan yang begitu menarik.