Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

 


Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman



Satu bulan yang lalu, saya berkesempatan pulang ke kampung untuk menghadiri salah satu acara adat. Dengan menggunakan kendaraan roda dua, saya berangkat menuju kampung. Perjalanan yang ditempuh memakan waktu lebih dari satu jam menuju kampung yang berada tepat di Desa Waling, Golo Lalong, Kec. Borong, Kabupaten Manggarai Timur.


Waling adalah kampung kecil yang merupakan desa pemekaran, dibentuk pada tanggal 26 Maret 2018 menurut sumber dari website BKKBN, dan telah menjadi salah satu desa wisata di Manggarai Timur. Kontur desa ini sangat unik; berada di punggung bukit dan diapit oleh dua gunung, menjadikan desa ini diselimuti kabut hampir setiap tahunnya. Curah hujan yang tinggi serta kelembaban udara yang tinggi membuat tempat ini sangat subur.


Begitu keluar dari hutan Bangaranga, saya langsung disambut oleh kabut dan gerimis, membuat udara menjadi dingin—tanda bahwa kampung sudah dekat. Di sepanjang jalan, kami ditemani oleh pohon-pohon kopi milik warga kampung yang tumbuh berdekatan. Untuk diketahui, selain Colol, Waling merupakan salah satu penghasil kopi terbaik di Manggarai Timur.


Memasuki kampung, saya hampir saja tidak melihat jalan masuk karena tertutup kabut, dengan jarak pandang hanya sekitar 5 meter. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 11.40 WITA.


Saya tiba di rumah mendiang kakek saya, di depan rumah terlihat tumpukan karung-karung kopi yang baru dipetik dan beberapa masih dijemur. Saya masuk ke rumah, memberi salam dan menyapa orang rumah yang selalu menyambut dengan hangat setiap kali kami datang. Sayangnya, beberapa anggota keluarga belum pulang dari berkebun, karena kami tiba sekitar tengah hari, saat warga kampung masih berada di kebun atau sawah.


Saya langsung menuju dapur dan duduk ketika orang rumah mempersilakan. Pertanyaan kabar menjadi topik wajib yang harus ditanyakan ketika pulang. Saya juga disambut dengan ramah oleh penghuni rumah yang lain. Bobby, anjing peliharaan keluarga yang sangat setia, menyambut kami dengan gonggongan khas setiap kali ada orang baru datang. Secangkir kopi hangat disajikan kepada saya; minuman ini menjadi penghangat tubuh karena cuaca yang dingin dan melelahkan.


Percakapan dimulai dari kopi dan berlanjut ke topik panen kopi serta cengkeh yang sangat berlimpah tahun ini. Harga kopi yang cenderung stabil di pasaran membuat para petani semakin bersemangat berbagi cerita. Tanpa terasa, sore mulai menjelang dan matahari bersiap untuk tenggelam di barat. Begitu pula warga yang mulai pulang ke rumah membawa hasil dari kebun—ada yang membawa sayur, umbi-umbian, bahkan kopi, hasil jerih payah seharian di kebun.


Malam di kampung sungguh menarik. Saya bergegas mengenakan kain tenun songket Manggarai dan ikut duduk di dapur dekat perapian. Kami lagi-lagi ditemani oleh secangkir kopi saat berbincang-bincang tentang pengalaman hari itu.


Sekitar pukul 19.00 WITA, om saya mengajak saya turun ke kampung untuk mengatur salah satu upacara adat di rumah adat. Setibanya di rumah adat, kami disambut oleh warga kampung dan keluarga yang juga baru tiba. Sekali lagi, kami disambut dengan kopi dan camilan khas kampung sembari menunggu keluarga dan warga lain yang masih dalam perjalanan.


Acara adat dimulai ketika semua keluarga dan warga sudah berkumpul. Dimulai dengan acara pa’u tuak, dilanjutkan dengan beberapa rangkaian acara hingga mencapai puncaknya yaitu tombo manuk, yang bertujuan meminta restu dan doa dari leluhur demi kelancaran segala rencana dan harapan bagi salah satu keluarga kami di kampung. 


* Pa’u Tuak: Ritual ini merupakan pembuka dari sebuah acara adat. Ritual ini ditandai dengan pengangkatan sebuah botol berisi tuak atau minuman adat, yang disertai dengan ucapan dalam bahasa adat untuk menjelaskan maksud diadakannya acara tersebut.

* Tombo Manuk: Ritual adat ini biasanya menjadi acara inti. Tombo Manuk dilakukan untuk meminta doa, dukungan, dan restu dari leluhur melalui perantara seekor ayam jantan.


Berikut, beberapa foto yang berhasil saya abadikan saat di kampung.


Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman


Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman

Waling dalam Kabut: Catatan dari Hati Kampung Halaman