Foto: Gonsa Thundang |
Lokasi Jalur utama Ruteng-Borong
Ada seorang anak laki-laki yang tak lagi bertumbuh. Dia hidup di antara orang-orang yang hidup, sementara jiwanya sudah lama mati dalam raganya yang masih bernyawa.
Anak kecil itu hendak melaut, namun lautan terasa terlalu luas bagi isi kepalanya yang kecil. Di pikirannya, lautan bergelombang dahsyat. Tidak hanya dalam pikirannya, ombak itu juga menerpa hidupnya.
Perahu yang dia naiki bertolak dan dia melaut bersama dengan perahunya yang diterjang ombak kehidupan yang lebih ganas dari yang dia harapkan. Jauh mereka terombang-ambing oleh ombak besar itu. Entah sampai di mana dan sampai kapan.
Hingga pada suatu hari, penumpang perahu yang seorang diri itu dan perahunya terdampar di sebuah pulau yang tampak tidak asing. Asing di dunia nyata, namun akrab dalam kenangan.
Mereka karam di tepi pantai pulau itu, yang ternyata adalah rumah.
Dia dan perahunya terdampar di sana. Tidak jauh dari tepi pantai yang dangkal itu ada sebuah plang kayu bertuliskan ‘Keluarga’. Di sana ada sebuah kamar kecil, atapnya terbuat dari harapan, dan dindingnya mungkin terbuat dari doa ibu dan bapaknya, karena terlihat lapuk, tua, dan terlupakan.
Dari jauh tampak seorang anak kecil yang sudah tua di kamar itu. Aku dan perahuku mendekat dan menyapa anak kecil yang tua itu. “Hei,” aku bingung bagaimana menyapanya. Akhirnya, aku menegurnya dengan sapaan, “Ite.”
“Ite, kami tidak sengaja terdampar. Boleh tahu, kami di mana dan siapa namamu, ite?” tanya kami.
“Saya adalah ite, ite adalah saya,” jawab anak kecil yang tua itu. Lebih lanjut dia berkata, “Ite adalah saya, dan kita adalah kita.”
“Mari menetap dan hidup, perjalananmu sudah terlalu lama tanpa tujuan.”