Berteduh yang teduh


Foto: Gonsa Thundang
Lokasi: Tenda, Kec. Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, NTT



Kami keluar dari ruang kelas yang penuh dengan hiruk pikuk para pemikir yang sangatlah amatir.Banyak yang kami diskusikan bahkan yang telah ada di slide presentasi yang sangat besar dan sekecil pemikiran kami ada yang berada dalam ruang persegi dengan landasan agama dan bertatap universitas. Banyak yang dibicarakan sampai-sampai jam tangan pada hp berteriak agar segera berakhir keributan keriuhan dalam babung permanen itu. Kita berjalan keluar setelah sambutan berakhir. Lorong prodi lama menjadi jalur favorit kita untuk berjalan pulang sembari membahas sisa-sisa pembahasan di kelas tadi.

Tiba-tiba hujan datang lagi setelah sekian lama singgah di ubun-ubun langit yang mudah sakit flu, datang menggunakan jas hujan kesayangannya agak rada transparan dari balik kelopak mata yang berusaha menatap ke langit. Sedikit demi sedikit dan hampir padat jalan karena dilalui oleh hujan yang buruh-buruh berlalu takut basah. Akhirnya kita harus berhenti di perhentian yang kedua dari balik jalan yang jauh yang belum kita ketahui di mana ujungnya.

Sembari menutup payung dan menyimpannya di balik tas kita yang masih harus banyak diisi oleh banyak hal. Kita terdiam, sambil memperhatikan hujan yang datang berdempetan dan ikut berteduh di halte persis di samping m (k) ampus tempat kami menempuh cinta.

Sesekali kita saling menatap dan saling tersipu malu-maluin. Aku coba bertanya dalam gimmick diamku. " Apa kamu mau menetap begitu lama di tempat ini? " Semakin dingin dan basah tempat ini oleh beberapa hujan berdempetan berteduh di halte karena takut basah. Tempat ini bernama Nama awalan dari nama awalku yang paling awal. Dikarenakan Bapa dan Mama memberikan nama itu persis di mana hari mengenang dia pergi. Mungkin kita akan begitu lama di sini sesekali bernostalgia dengan cerita-cerita rohani yang sering diceritakan. Apalagi beberapa hujan ikut berdatangan untuk berdempetan berteduh di sini.

Setelah sedikit gerimis pergi lalu-lalang takut terlambat. Barulah kami bisa beranjak berjalan lagi di bawah teduhnya selembar payung berwarna kuning tua. Ada pertanyan kecil membuka obrolan yang samar-samar diucapkan agar tidak didengar hujan yang juga turut ikut berjalan di belakang, samping, dan di depan kami.

"Apa lagi setelah angin ribut kemarin yang membuat kita lupa untuk berteduh dan beristirahat? " tanya ku berbisik. " Mungkin dureng yang membawa banjir di mataku yang mungil ini" jawabnya. " Apa kau takut selebar daun payung ini terlalu kecil? " tanya kepada ku. Malah aku balik bertanya " Apa kau takut flu? " "bukan, aku hanya takut kata takut itu datang lagi " ujarnya dari balik tirai rambutnya. " Apakah kita harus pulang dulu kali ini, rumah sudah lama sendiri di dapurnya yang kurang hangat dan berasap."