Menunggu Hujan Reda

Menunggu Hujan Reda
Foto: Gonsa Thundang


Hujan deras mengguyur atap kantin kecil itu, memecah hening yang biasa memenuhi ruangan. Gemuruhnya seperti melodi sunyi dan nyanyian gadis kecil yang ceriah dan mengganggu waktu tidur siang kakaknya yang sedang bermimpi indah, mengiringi percakapan-percakapan samar yang terjalin di dalam bayang-bayang di balik atap kantin kampus yang baru. Di pojok sana, duduk dua sahabat, wajah mereka beradu dalam jarak dekat, seolah dunia di luar jendela itu tidak lagi nyata, dan dingin tidak menggigil . Hanya ada mereka dan bunyi rintik-rintik air yang jatuh.



Di meja lain, tiga orang duduk membentuk lingkaran kecil, sesekali melirik ke arah jendela dengan mata yang menyiratkan kecemasan. Suara mereka rendah, tapi nada kekhawatiran merayap dalam setiap kalimat yang terucap. Salah seorang dari mereka mengangkat wajah, memperhatikan derasnya hujan yang seakan tiada berujung, lalu berkata lirih, “Kalau terus begini, mungkin akan banjir.” Yang lain mengangguk setuju, menggumamkan keprihatinan yang sama, seakan cuaca ini bukan sekadar hujan, tetapi pertanda dari sesuatu yang lebih besar, lebih berat.


Di meja lain, seorang pria paruh baya membungkukkan tubuhnya ke arah cangkir kopi yang mengepul, wajahnya tersembunyi dalam topi lebar yang basah oleh jejak hujan. Matanya tampak jauh, seakan berlayar di lautan kenangan yang tidak ingin ia bagi kepada siapa pun. Sesekali, ia mengangkat cangkir itu dengan tangan yang sedikit bergetar, menyesap kopi yang sudah mendingin, namun tetap menjadi satu-satunya teman di tengah kesendirian.


Menunggu Hujan Reda
Foto: Gonsa Thundang


Aku duduk di dekat jendela, menyaksikan aliran air mengalir di atas kaca, menutupi pemandangan luar dengan tirai kabur yang misterius. Bayangan bangunan di luar tampak samar, tercampur dengan genangan air yang memantulkan cahaya dari matahari sore dari balik kawanan awan. Setiap tetes hujan itu seolah membawa cerita, cerita yang tak pernah selesai, cerita yang hanya akan menghilang bersama uap kopi yang kian menipis.


Ruangan itu terasa seperti ruang jeda, seperti jeda dalam sebuah kalimat panjang yang tidak tahu kapan akan menemukan titik akhirnya. Kami semua yang ada di sini hanyalah karakter yang terlupakan, menunggu giliran untuk berbicara dalam paragraf yang mungkin tak pernah tertulis. Di luar sana, kehidupan terus berjalan, tapi di sini, waktu seperti berhenti, memberi kami kesempatan untuk merenungi sisa-sisa perasaan yang tertinggal.


Aku menghela napas panjang, meresapi aroma kopi yang bercampur dengan bau tanah basah dari luar. Di saat seperti ini, hidup terasa begitu sederhana, begitu melankolis. Aku pun tersenyum, seolah baru saja menemukan puisi yang tersembunyi di antara butir-butir hujan dan bayang-bayang di kantin kecil ini.