Kemarin, sesaat kami menepi untuk memperbaiki motor sahabat saya yang sedang rusak. Motor tersebut diperbaiki di bengkel motor Sukajadi, di arah Mbamuku. Daerah setempat sering disebut oleh anak-anak sekitar sebagai "Teksas-nya" Kota Ruteng. Entah apa dasar penamaan tempat tersebut oleh kawan-kawan muda setempat.
Hujan masih lebat. Saya dan sahabat saya menepi dengan pakaian yang sudah sedikit basah. Banyak kendaraan roda dua yang terparkir persis di depan bengkel tersebut. Di sana, ada beberapa orang yang sibuk memperbaiki motor, beberapa lainnya hanya memperhatikan. Saya dan sahabat saya pun memulai percakapan dengan salah seorang montir di bengkel itu.
“Rusak apa, kae?” tanya montir yang sedari tadi menunggu kami melarikan diri dari basah kuyup, dengan wajah capek akibat hujan yang terus mengguyur dan membuat suasana semakin dingin.
“Kae, neka rabo. Lampu utama motor tidak menyala. Mungkin bisa dicek, kae. Sekalian ban belakang, kae, kayaknya bocor halus,” ujar saya sembari menunjuk ke arah motor sahabat saya.
Montir tersebut perlahan memulai aktivitasnya. Ia membuka baut-baut yang tertancap pada bodi motor, dari bagian setir hingga lampu depan. Dengan gerakan sedikit kaku karena dingin yang menjalar dari kaki hingga tangan, montir itu membongkar bagian demi bagian suku cadang motor. Sementara itu, saya dan sahabat saya mulai sibuk mengamati pekerjaannya.
Hujan mulai surut, menyisakan langit abu-abu sore itu. Saya memperhatikan sekitar, melihat lalu lalang kendaraan di jalan satu arah tersebut. Selain pengendara, ada juga beberapa orang yang berteduh di warung seberang jalan.
Sesaat, perhatian saya teralih pada sesuatu yang membuat kepala saya menengadah. Persis di samping warung itu terdapat bangunan bertingkat empat. Di salah satu lantainya, seorang anak yang kira-kira berusia enam atau tujuh tahun tampak asyik bermain sendiri di balkon jendela.
Hujan dan dingin sore itu seolah ikut bermain bersamanya. Saya akhirnya lupa dengan tujuan awal kami datang ke tempat tersebut. Saya sibuk memperhatikan anak itu dari teras bengkel. “Seru sepertinya di atas sana,” ujar saya dalam hati sambil merogoh kamera kesayangan dari dalam tas. Setelah mengatur fokus dan jarak, saya mulai membidik objek, menahan napas, lalu mengambil beberapa momen.
Tepat ketika anak itu bersandar di besi pembatas balkon yang hampir setinggi tubuhnya, wajahnya mendadak murung. Tangannya merangkul besi itu sembari memandang ke arah barat daya. Lama dia di sana, dengan wajahnya yang sendu. Saya segera mengabadikan momen tersebut.
Fokus saya masih tertuju padanya. Lewat monitor kamera, saya terus mengamati anak itu hingga dia akhirnya melepaskan rangkulan dan masuk ke dalam ruangan melalui jendela, seperti maling yang kepergok warga gang.
Saya memeriksa hasil jepretan, memperbesar tampilan gambar, dan melihat wajah anak itu lebih jelas. Muram, kusam—entah apa yang sedang dia pikirkan. Saya mencoba berimajinasi, menebak isi pikirannya. Mungkinkah dia sedang menunggu seseorang? Atau mungkin dia sedang menghafal lagu kesayangan yang belakangan ini sering dijadikan plesetan oleh orang-orang?
“Satu satu, paslon nomor satu... Dua dua, paslon nomor dua... Tiga tiga, paslon nomor tiga... Satu dua tiga, saya mau golput...” gumam saya dalam hati, sembari tersenyum kecil menghafal plesetan lagu tersebut. Mungkin itu hanya pikiran saya yang sok tahu tentang isi kepala anak itu, sambil terus memperhatikan jendela tempat dia menghilang.
Tiba-tiba, saya dikejutkan oleh panggilan montir yang mengatakan bahwa motor sudah selesai diperbaiki. Sambil mengecek lampu depan dan ban belakang yang sudah kembali berfungsi, saya dan sahabat saya menuju meja kasir untuk membayar. Kami memastikan barang bawaan lengkap, bersiap diri untuk pulang, karena hujan telah reda dan sore semakin jatuh ke barat kota.
Kami keluar dari bengkel, berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada montir yang telah memperbaiki motor sahabat saya. Sebelum berangkat, saya sempat kembali menatap jendela itu. Mungkin anak tadi akan muncul lagi, melambaikan tangan kepada kami yang hendak pulang.