Kampung, Halaman Rumah


Tanah dan Terang yang Terancam


Di sela-sela kesibukan akhir bulan, yang kian makin sibuk bulannya, saya sempat-sempat mengingat kejadian-kejadian yang beruntun terjadi dua bulan terakhir, menjelang akhir tahun. Bahan kejadian tersebut dialami orang yang saling kenal via media sosial dan aktif berkomunikasi tentang segala persoalan yang terjadi di Ruteng maupun dari kampung halaman mereka.

Tepat sebulan lalu, di sisir selatan kota, tepatnya di Nganga, yang jaraknya hanya 10 kilometer saja dari ibu kota Kabupaten Manggarai, terjadi unjuk rasa dari warga yang sedang berusaha mempertahankan tanah ulayat. Mereka adalah warga Poco Leok.

Hari itu, notifikasi smartphone saya secara beruntun terus menderu, mengetuk speaker, dan hampir-hampir jebol, sesaat dilepas untuk mengisi daya di pojok meja TV. Saya yang hendak beranjak menuju dapur untuk mengolah sayuran, sesaat menghentikan kaki tak beralas. Saya kembali ke arah suara yang secara menderu terus berdering keras. Sejenak, saya pandang layar smartphone saya, membuka isi percakapan yang terus menumpuk di setiap detiknya.

“Seorang Pria Mengaku Wartawan di Manggarai Diamankan Polisi” menjadi salah satu judul headline berita yang melintas di pesan grup, yang cukup mengganggu penglihatan saya yang sedang tidak ingin diganggu. Tidak berselang lama, salah satu media lokal di Flores juga memberitakan berita dari perspektif yang berbeda dan berlawanan dengan judul berita sebelumnya, “Pemimpin Redaksi Floresa Ditangkap Aparat Saat Meliput Aksi Warga Poco Leok Menolak Proyek Geothermal,” yang secara langsung menggerakkan ujung ibu jari saya untuk menekan link berita tersebut. Beberapa saat saya membaca berita tersebut, diikuti membaca link berita yang pertama saya terima di grup WhatsApp.

Saya melihat dua kontradiksi dari isi kedua berita tersebut, sambil mengerutkan kening dan melebatkan pandangan mata untuk sesaat berpikir, dan melihat kembali isi pikiran yang sedang terjadi pergolakan. Saya melihat kesenjangan informasi yang kemudian menjadi konsumsi publik di media sosial, yang sayangnya akhir-akhir ini terus digencot untuk menguntungkan beberapa pihak, dan mungkin salah satunya ada di pusat kota kabupaten, yang khirnya menghentikan aktivitas saya untuk ke dapur.

Hal tersebut masih terjadi di rentetan acara Festival Golo Curu yang diselenggarakan selama seminggu di pelataran Gereja Katedral Ruteng.

Tanggal 1 Oktober, festival Golo Curu dibuka secara resmi oleh pejabat pemerintah dan pejabat gereja. Tepat di tanggal 2 November, sehari setelah pembukaan festival, terjadi aksi represi terhadap warga yang sedang melakukan aksi protes dan penolakan terhadap proyek geothermal di Poco Leok, yang dibekingi oleh perusahaan milik negara yang berada di bawah naungan BUMN.

Dengan adanya kejadian ini, gereja seharusnya mengambil sikap yang semestinya, sejalan dengan tema besar Festival Golo Curu tahun 2024: Ekologi Integral. Saya berandai, di tengah gebyar acara festival yang baru dibuka, setiap selingan acara selalu diselipkan dukungan dan penolakan terhadap aksi represif yang terjadi selama satu minggu acara berlangsung, yang selaras dengan tema besar festival.

Dalam angan saya, suara-suara sumbang penolakan yang sangat vokal di tengah lantunan lagu galau yang terus meninabobokan warga kota dapat terdengar. Namun, angan itu hanya menjadi khayalan belaka. Lantunan lagu justru semakin membuat warga kota tidak menghiraukan informasi yang beredar luas di ruang-ruang udara festival tentang aksi kekerasan represif yang terjadi tepat di depan mata mereka.

Saya masih ingat betul bagaimana salah seorang calon imam menceritakan kepada kami saat sekolah minggu, ketika saya masih kecil. Dia menjelaskan bagaimana Yesus berusaha membubarkan para pedagang yang mencoba mengubah rumah Bapa-Nya menjadi pasar. Dengan lantang, calon imam itu mengutip salah satu ayat yang berbunyi: “Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun!” Setelah menjelaskan hal tersebut, dia bertanya kepada kami, “Bagaimana jika hal serupa terjadi pada rumah kalian?”

Hal tersebut bahkan terjadi sekarang. Hal tersebut dirasakan oleh orang-orang ada di Poco Leok. Tadah atau rumah yang menjadi tempat mereka hidup dan bernaung dijadikan tempat berjualan, atau lebih parahnya lagi, para pedagang itu menjual rumah atau tanah mereka yang mereka jaga dan diami selama ini sebagai tempat bertumbuhnya adat, budaya, dan generasi penerus.

Saya berharap, mungkin sikap yang diambil gembala seharusnya sejalan dengan isi kutipan di atas. Bahkan, jika ada kata yang lebih dari seribu kata sayang, itulah yang akan saya ungkapkan atas sikap diam gembala terhadap aksi ini. Hingga hari terakhir penutupan festival yang mengusung tema besar Ekologi Integral, semuanya masih terasa adem-adem saja. Warga dan segelintir orang masih berjuang mengusir para pedagang yang coba menjual rumah dan tanah mereka.

"Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula, orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga.” (Matius 5:14–16).

Ayat ini mengajarkan bahwa Yesus meminta para pengikut-Nya untuk menjadi terang bagi dunia, bukan memaksakan terang lain yang justru merusak dan menggelapkan rumah serta tanah yang menjadi tempat bernaung dan hidup.

Sekian dulu untuk malam ini, teman-teman.
Selamat malam.

Tanah dan Terang yang Terancam
Foto: Gonsa Thundang