Dalam kehidupan masyarakat Manggarai, kebiasaan dan tradisi memegang peran penting untuk menciptakan keseimbangan dan keselarasan. Kedua unsur ini saling melengkapi di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam penggunaan "betong," atau bambu. Bambu memiliki peran sentral dalam berbagai prosesi, mulai dari kelahiran hingga kematian, serta dalam berbagai ritual kehidupan lainnya. Salah satu ritual penting yang menggunakan bambu adalah prosesi Barong Wae.
Barong Wae, atau Barong Wae Teku, merupakan bagian dari ritual dalam pesta panen di Manggarai yang dikenal sebagai Penti. Ritual ini bertujuan untuk mengundang roh-roh penjaga Wae Teku (mata air suci) yang diyakini melindungi dan menjaga sumber air tersebut. Para roh diundang untuk hadir dalam perayaan Penti di rumah adat pada malam hari sebagai bentuk penghormatan atas peran mereka dalam menjaga sumber air, sehingga "mboas wae woang, kembus wae teku" (air minum tidak pernah kering). Bambu, atau betong, digunakan sebagai media untuk menyalurkan air dari Wae Teku ke tempat perayaan, simbol air sebagai sumber kehidupan masyarakat Manggarai. Ada ungkapan "Bok one mai betong, bengkar one mai belang," yang berarti bertunas atau dilahirkan dari bambu, menggambarkan betapa bambu dan air adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Manggarai.
Selain dalam prosesi Penti, bambu juga digunakan dalam ritual adat kelahiran. Salah satu tradisi yang disebut Poro Putes (Poro: memotong, Putes: tali plasenta) melibatkan pemotongan tali plasenta bayi yang baru lahir menggunakan sembilu atau lampek, yaitu pisau tajam dari bambu kering. Tradisi ini turun-temurun untuk menghindari penggunaan pisau besi yang bisa berkarat dan menyebabkan infeksi pada plasenta.
Dengan demikian, bambu atau betong memiliki peran esensial dalam kehidupan masyarakat Manggarai, bukan hanya sebagai alat praktis, tetapi juga sebagai simbol filosofi yang dalam, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari adat istiadat dan keseharian mereka.