Di kota ini, orang-orang sering sulit ditebak. Terakhir kali saya bertemu dengan seseorang seperti itu adalah di penghujung tahun 2023. Kami mulai dekat, lalu menjadi orang yang sulit dipisahkan, bahkan oleh jarak yang dapat diukur dengan angka. Mungkin, bila diukur dengan waktu, jaraknya lebih lama dari selamanya.
Kisah ini terus berlanjut hingga kini, meski saya tak sepenuhnya memahami mendung yang kadang datang. Hubungan ini berkembang menjadi lebih dari sekadar "baik," seperti yang sering disebutkan orang-orang. Mungkin ini lebih dari sekadar dekat. Bagi saya, hal ini menjadi penutup tahun yang sangat berkesan—dan mungkin juga bagi dia, yang selalu saya doakan dalam sujud di akhir tahun 2023.
Saya mengenalnya bukan karena kecantikan yang biasa dipuja-puja. Di suatu sore yang mendung, di kampus, cerita kami bermula melalui pesan WhatsApp. Dengan bahasa formal khas mahasiswa, dia mengirimkan pesan singkat: "Halo, Kak. Selamat sore. Mohon maaf mengganggu waktunya." Pesan itu sederhana, tapi cukup untuk membuka percakapan, meski sedikit janggal bagi mahasiswa awal semester yang mungkin terlalu dimabuk cinta jenis Kobok.
Dari sana, kami mulai berkenalan dan saling berkabar. Kadang hanya saling sapa di koridor kampus, atau melalui udara lewat gadget. Kebiasaan itu terus berlanjut, bahkan semakin sering.
Saya masih ingat jelas suasana sore itu—hati saya sedang gembira, menyeruput kopi yang terlalu manis sambil menikmati udara dingin. Meski agak terpaksa bagi saya yang mudah terserang flu, saya tak peduli pada dingin yang kian menusuk di penghujung tahun. Lagu Natal terdengar samar, sementara wangi kue kering yang hangus dari rumah tetangga menguar, menjadi bagian dari kesibukan akhir tahun.
Hari ini, ingatan-ingatan itu kembali. Tepat saat mata mulai terlelap, kantuk samar-samar menyerang di penghujung malam. Mungkin karena overdosis kafein yang sulit ditangani. Salah satu ingatan yang paling jelas adalah ketika kami pernah pulang bersama.
Hujan deras menemani perjalanan kami, membuat pakaian basah dan tubuh kedinginan. Kami berteduh di warung kecil milik warga, saling berpandangan, dan bertukar kegelisahan. Hujan, petir, dan angin seolah enggan memberi kami ruang untuk pergi. Mungkin hujan ingin kami berlama-lama bersama. Atau, mungkin itu cara alam menyuruh kami membeli mantel hujan—agar bisa segera melanjutkan perjalanan.
Kami pernah pulang larut, berdua dalam dingin malam, menuju rumah saat petang telah lama berlalu. Cerita-cerita kecil menjadi penghangat, menggantikan jarak di antara kami yang kini terasa lenyap. Di atas motor, tak ada lagi batas ruang; hanya percakapan yang melarutkan dingin.
Ingatan semacam ini terus menjadi bunga tidur, mekar semerbak saat mimpi berdatangan di penghujung pagi. Dan, ketika pagi datang tiba-tiba, suara Bapa membangunkan kami untuk minum dan sarapan bersama di meja makan.
Rutinitas ini menjadi bagian dari malam-malam saya. Apalagi saat paket internet mulai menipis, menyisakan jejak pesan WhatsApp yang terus berbalas—pesan singkat yang akhir-akhir ini menjadi semakin panjang. Sesekali, panggilan suara pun terbang melalui udara, menembus kerinduan kepada seseorang yang sering disebutkan dalam doa.
Sudah larut, gula telah bercampur kopi dalam gelas, dan ritual ini terus berulang setiap malam. Kadang saya melakukannya untuk mengelola mimpi buruk yang mengendap beberapa tahun lalu.
Sekian. Selamat malam menjelang pagi.
![]() |
Foto: Gonsa Thundang |