Menunggu Pulang

Foto: Gonsa Thundang
Lokasi: Kota Ruteng saat hujan

    
    Tok-tok, tik-tik, tiba-tiba langit menangis pedih karena rasa panas pada hati tanah terlalu terik yang disinari mata(hari) yang menerbangkan uap-uap perih ke langit-langit mata. Dia tiba sore itu di atap teras sekolah, tempat di mana kami belajar mengajar orang yang diajar. Sudah hampir setengah waktu jam menunggu untuk menunggu langit meredakan rasa sedihnya. Angin timur coba membujuknya agar tidak terlalu lama bersedih di atas atap sekolah.


        Dari bangku tempat duduknya, seorang gadis coba menoleh ke dalam jendela langit dari ruang kelasnya. Nampaknya gadis itu gusar dan bingung, coba mencari cara untuk membujuk langit agar berhenti membuang-buang air yang akan sulit dicari gadis itu saat musim kemarau pulang berlibur di bulan Juni nanti. Apalagi tahun lalu, sekolah memberikan cuti atau libur panjang, begitupun kemarau yang juga turut ikut berlibur. 


            Sembari berpikir menunggu langit berhenti menangisi hujan, anak gadis itu merogoh saku jaketnya dan mengambil buku elektronik yang menjadi sumber pengetahuan. Ditulisnya pada buku hariannya bersampul biru laut yang dangkal isinya. Pena jempolnya mulai tenggelam dan beradu pada dasar bukunya yang bening itu, mulai menulis, entah menulis apa.


         Dari jauh yang tidak dekat itu, sesosok rupa tiba dalam bayang yang berselimut pagi yang dingin saat wajar terjaga dari malam yang panjang di akhir bulan menuju Desember yang lembab beraroma panggangan kue kering yang hangus di oven. Ahirnya mimpi pajang yang singkat itu berakhir mati dibangukan oleh pagi. 


Dia masih nyaman di sana, di balik jendela yang jauh dari ruang kelas sekolah, tertidur yang nyenyaknya sangat setengah mati dibunuh. tertatih-tatih, berhati-hati takut mati dalam hatinya yang bermimpi di pagi hari. Nyatanya Dia masih membangunkanya setelah perayaan kecil di Rumah-Nya yang telah usai di jam 6 lewat di depan rumah jam, yang hampir tersesat, yang lupa akan alamat rumah.


       Dia hidup lagi di hari ini, dengan nafasnya masih harus dirapikan di dalam katup udara dalam rongga dada. Tangannya mengucak-ngucak kaca di matanya, coklat buram kusam. perlahan, pikiranya terjaga mengingat pekerjaan rumahnya yang harus dikerjakan di kelas nanti, sembari bangun dari kasur subur yang akur dengan jiwanya masih tertidur mujur. Kembali beranjak menuju ruangan pengakuan pribadi yang dindingnya dipenuhi dengan doa-doa orang yang  selalu lupa berdoa di tempat berdoa. Mencoba duduk dan menitipkan hajatnya yang bukan jahat di dalam tempat penitipan barang berharga, yang berupa emas batangan dan cairan merkuri pucat kuning.


        Jalan nasib harus terus bergulir, pada akhirnya dia berhenti pada perhentian di meja perjamuan terakhir, meja makan yang bukan bundar melainkan melingkar yang berputar dan berbinar di tasnya. Lalu dia mengucap syukur dan memberikan makanan itu kepada mulut dan perut-perutnya, sembari berkata, “amin..” hanya itu yang bisa terucap di pagi yang tidak buta itu.


      
Si gadis, masih belum selesai membetulkan doa-doanya yang romolnya sangat setengah hati dan setengah mati. Masih romol dan susah pada ucapan terima kasih yang sangat sulit dijelaskan dalam doa yang ribut hening itu. Sahabat di samping gadis itu coba berkata “cobalah untuk bernegosiasi sebentar dengan yang Dia yang mencintai langit dan segenap ciptaannya” tutur sahabat yang berucap kecap sedap itu. 


Akhirnya pagi itu dihabiskannya dengan sangat lahap, sembari mengingat dan mencatat itu dalam buku harian digitalnya yang sangat populer di dunia maya yang tidak nyata dan penuh para mafia. Ada yang memperdagangkan persoalan yang ditulis demi memanen pujian-pujian di lahan manusia yang penuh barah-barah yang belum cukup usia untuk dituai. Atau bahkan hanya sekedar berusaha membuat pertanyan bagi lawan kaunya yang sedang berusaha menempati posisi yang sulit dipuja-puji namun disambut dengan caci-maki yang sangat merdu diucapkan para lawannya. 


Dengan demikian, bait hari ini ditutup dengan bahasa sederhana yang sangat luas dari bibir seorang gadis, “Tuhan, berkati langit yang selalu bersedih di setiah harinya di kota ku. Di setiap harinya aku mendengar tangisnya yang menangis sadis dari dalam lubuk hatinya yang berawan mendung. Tuhan berkati dia, agar tangisnya melengkung tinggi membentang bersama pelangi setelah air bah melanda dunia.” Kemudian, gadis itu terdiam dan merelakan tangisnya dihapus hujan siang itu, di atas meja makanya yang kebanjiran. Kemudian harapan itu tenggelam di dalamnya bersama doa-doa lain.