Mārgasirsah

 

kita bertemu setelah begitu lama bersama. Aku ingat begitu rindang rambutmu yang terurai halus berteduh di balik kelopak matamu yang begitu indah, dipandang oleh aku yang sangat mengidolakan diam yang ribut. Aku juga masih ingat, manis senyummu yang berhasil kau ukir sempurnah di garis tengah wajahmu yang yang rada cuek dan muka marah, ala-ala guru matematika menagih pr kepada murid-muridnya yang lugu. Aku masih ingat pertama kali saat kau menegurku dengan suara yang rada cempreng, namun berhasil membanguakn bulu kudukku yang lugu akan sura sang malaikat yang tidak lolos tes paduan suara di Surga. Namun ciptaan Tuhan itu berhasil membuat aku berdoa khusyuk semalaman dan berkata “ Tuhan, terima kasih telah menciptakan Dia”.

Suatu ketika, kita dipertemukan lagi di suatu saat, di bagian Kartikah di tahun ini. Masih dengan rasa kekaguman seorang tukang cat amatir, bak ketumpahan satu kaleng cat berwarna biru di badan ku, aku menatapmu kagum. Sempat tak percaya, namun kau berhasil meyakinkanku. Sampai akhirnya rasa itu semakin dilengkapi dan menjadi suatu mahakarya yang utuh dalam hati dan pikiran.

Langit kian mendung langit tak henti-hentinya membasahi kita berdua di setiap harinya dan sampai akhirnya kita telah sampai pada Mārgasirsah di tahun ini. Dalam selimut hujan yang dingin kita  beranjak pulang menelusuri gelap yang dinaungi gempita bintang  yang kesepian di tengah malam. Kita tiba di rumah kita di bagian selatan kota. Kita tiba dan duduk berbincang dalam diamnya malam dan ributnya  suara kita berdua yang sedang beradu yang sedari tadi membuat hening telah pecah. Namun kita dikalahkan oleh kedinginan yang dingin yang membuat kita harus saling berbagi kehangatan lewat dekapan. Aku suka wangi rambutmu. Itu yang selalu menusuk hidungku hingga berdarah-darah rasanya.

berlanjut…….